Jumat, 25 Februari 2011

Hak Angket dan Politik Integritas PKS

DPRa PKS KAPUK MUARA

Hak Angket dan Politik Integritas PKS


http://i405.photobucket.com/albums/pp135/djoenn_vedder/logo20buletin123_1.jpg
“Kalau masih punya harga diri, kehormatan dan integritas harusnya (Golkar dan PKS) mundur. Ini masalah integritas," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit (www.detik.com). Pendapat ini dilontarkan pria yang kerap tampil dengan rambut berkuncir itu menanggapi kekalahan para pendukung hak angket pajak saat voting, Selasa malam. Benarkah PKS tak memiliki integritas?

Ada empat partai yang mendukung hak angket mafia pajak: PDIP, Partai Golkar, PKS dan Hanura. Dari keempat partai itu, keberadaan PKS jelas sangat menarik untuk dicermati. Mengapa PDIP, Partai Golkar dan Hanura tidak menarik? Begini penjelasannya.

Kita mulai dari PDIP. Sebagai partai yang sedari awal berada dalam barisan oposisi, dukungan PDIP jelas sangat tak mengejutkan. Bersikap kritis dan berseberangan dengan pemerintah adalah konsekuensi logis sebagai partai oposisi. Tugas mereka memang seperti itu. Tak lebih dan tak kurang. Konsistensi sikap sebagai oposisi akan sangat menguntungkan bagi pencitraan di mata publik, terlebih banyak petinggi mereka yang tersandung kasus korupsi. Selain itu, dukungan pada hak angket mafia pajak juga bisa diartikan untuk menaikkan posisi tawar mereka. Maklum, belakangan semakin kencang berhembus kabar “kemesraan” PDIP dan PD. Ketakhadiran delapan anggota DPR dari PDIP saat voting, termasuk Taufik Kiemas, dapat diletakkan pada konteks ini.

Bagaimana dengan Hanura? Setali tiga uang dengan PDIP. Keberadaan sebagai partai oposisi membuat Hanura tak punya pilihan lain yakni tetap bersuara lantang terhadap pemerintah. Apalagi jumlah kursi mereka yang sedikit, membuat bargaining position mereka pun rendah.

Bagi PDIP dan Hanura, mendukung hak angket mafia pajak, bisa dipastikan tak memiliki dampak negatif. Yang ada justru citra mereka tetap terjaga sebagai “watchdog” pemerintah. Tak ada ancaman reshuffle karena tak ada kader mereka yang menjadi menteri di pemerintahan.

Sekarang kita lihat Partai Golkar. Bukankah mereka menjadi bagian koalisi? Ya. Kalau demikian, mereka berani menanggung resiko paling pahit yakni dikeluarkan dari pemerintahan SBY? Bisa ya, bisa tidak. Satu yang pasti, langkah ini sudah mereka kalkulasi sedemikian cermat. PG memiliki jumlah kursi signifikan di DPR. Ini membuat posisi tawar mereka sangat tinggi. PD akan berpikir ratusan kali untuk mengeluarkan PG dari barisan koalisi. Kondisi ini membuat PG bebas bermanuver, melakuka politik zig-zag, yang membuat PD gerah dan kebat-kebit. Tapi PG sangat percaya diri. Mereka haqul yakin PD tak akan berani bertindak. Paling jauh hanya menggertak. Kecuali, jika PD berhasil membujuk PDIP, maka posisi PG menjadi rawan. Tapi, itu sulit terjadi, selama Megawati masih ada di tubuh Moncong Putih. Kesimpulannya: hampir tak ada konsekuensi berat bagi PG dengan mendukung hak angket mafia pajak. Posisi mereka aman, the untouchable party.
Pada titik inilah mengapa posisi PKS menjadi sangat menarik. Dengan jumlah kursi hanya 57, posisi mereka tak aman. Sederhananya begini: PKS adalah partai yang paling memungkinkan menerima pil pahit akibat mendukung hak angket mafia pajak. Mereka sangat rentan didepak oleh SBY, berbeda dengan PG. Pertanyaannya: mengapa PKS mengambil posisi ini? Inilah politik integritas.

Integritas adalah melakukan apa yang dikatakan. Mengerjakan apa yang dituliskan. PKS adalah partai yang menjunjung tinggi moralitas dan kejujuran. Tagline mereka pun jelas: Bersih, Peduli dan Profesional. Visi dan misi PKS yang menginginkan negeri ini adil dan sejahtera secara gambling tertulis di AD/ART-nya. Untuk mencapai itu, tentu saja bangsa ini harus dibersihkan dari korupsi. Mendukung hak angket mafia pajak adalah ikhtiar PKS mewujudkan visi dan misinya tersebut.

Kecuali itu, dengan mendukung hak angket, PKS secara konsisten menjalankan fungsi kepartaian: sebagai artikulator dan aggregator. Silent majority bangsa ini sudah pasti muak dengan ulah Gayus yang menjadi mafia pajak. Silent majority negeri ini sudah tentu jengah dengan korupsi yang terus merajalela. Tapi mereka tak bersuara. Diam. Dan PKS dengan cerdas menangkap “suara” ini dengan mengartikulasikannya dan mengagregasikanya di legislatif.

Loh, bukankah PKS bagian koalisi? Dan bukankah sudah sepantasnya patuh dengan aturan koalisi? Musyarokah harus ditempatkan pada posisi yang sebenarnya. Berkoalisi sangat dianjurkan selama untuk kebaikan dan menyuarakan kebenaran. Lalu, jika ada kebenaran yang hendak ditutupi, masihkah kita berdiam diri dan malah mendukungnya? Berkoalisi bukan berarti kita tunduk patuh. Justru harus tetap kritis, terutama di parlemen. Bukankah disaat anggota dewan PKS kritis di legislatif, disaat yang sama kader-kader terbaik PKS bekerja keras di pemerintahan? Inilah koalisi yang indah.

Lembar sejarah Islam sudah terlalu banyak mengajarkan kita untuk bersikap kritis kepada penguasa. Simaklah kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. Suatu hari ia naik mimbar dan berkhutbah, "Wahai, kaum muslimin! Apakah tindakanmu apabila aku memiringkan kepalaku ke arah dunia seperti ini?" (lalu beliau memiringkan kepalanya).

Seorang sahabat menghunus pedangnya. Sambil mengisyaratkan gerakan memotong leher, ia berkata, "Kami akan melakukan ini."
Umar bertanya, "Maksudmu, kau akan melakukannya terhadapku?"
Orang itu menjawab, "Ya!"
Lalu Umar berkata, "Semoga Allah memberimu rahmat! Alhamdulillah, yang telah menjadikan di antara rakyatku orang apabila aku menyimpang dia meluruskan aku."

Untuk menjalankan politik integritas sangatlah tidak mudah. Godaan kekuasaan selalu datang. Betapa banyak partai yang akhirnya tergelincir. Awalnya menjadi oposisi, namun karena diiming-imingi “permen kekuasaan”, partai tersebut tak kuasa menolak.

Politik integritas hanya bisa dilakukan oleh partai yang berideologi kuat. Yang memiliki akidah yang menghujam hingga ke dalam jiwa. Yang memiliki hati nurani. Yang menjadikan kekuasaan hanya ditangan, bukan dihati. Yang siap dengan segala konsekuensi terjelek sekalipun. Yang tak segan menyuarakan kebenaran meski pahit adanya.

Jadi, sesungguhnya, siapakah yang tak memiliki intergritas itu, Pak Arbi?
(erwynkurniawan)

0 komentar: