Rabu, 16 Februari 2011

Inspirasi Merapi untuk Politik Kontribusi PKS

DPRa PKS KAPUK MUARA

Inspirasi Merapi untuk Politik Kontribusi PKS


“Mereka yang terlebih dahulu merangkul perubahan yang perlu akan menjadi pihak yang paling merasakan manfaatnya.”
(John Naisbitt)


Untuk mewujudkan diri sebagai partai yang bisa diterima masyarakat luas hingga beroleh pada raihan suara melesat dalam tiga besar pemenang pemilihan umum 2014, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya perlu berkaca pada keberadaan Gunung Merapi.

Bila dalam erupsi akhir Oktober dan awal November tahun lalu aktivis PKS banyak yang melibatkan menjadi relawan, maka kini mereka bisa menjadikan gunung teraktif di tanah air itu sebagai inspirasi mencapai kemenangan. Tentu saja sebuah kemenangan dengan cara elegan dan mendapat dukungan luas secara tulus.

Apa sebenarnya inspirasi Merapi bagi kerja-kerja PKS di masa mendatang? Di lain pihak, mengapa aktivis PKS dirasa perlu belajar pada hikmah keberadaan dan bencana Merapi, dan tidak sekadar melakukan aksi-aksi rutinitas namun minim refleksi?
Inspirasi Merapi

Awan panas Merapi memang kini sudah berakhir. Warga-warga di lereng Merapi sudah bisa mendatangi reruntuhan bekas rumahnya. Namun ketenangan serupa masih belum bisa dinikmati warga di kali (sungai) yang dilalui lahar dingin Merapi.

Masih belum ada kepastian kapan banjir lahar dingin Merapi yang sempat memutuskan jalur Yogyakarta dan Magelang benar-benar berhenti mengancam. Material pasir dan batu berhamburan di jalan-jalan yang dilewati kendaraan. Sudah ratusan rumah rusak akibat terjangan material banjir lahar dingin di jalur Kali Putih itu.

Saat erupsi terjadi ratusan rumah warga di lereng Merapi, baik yang ada di Sleman, Klaten, Magelang dan Boyolali merasakan bagaimana dampak awan panas. Ratusan rumah di kawasan Merapi, terutama Sleman dan Klaten, sudah tidak berwujud lagi. Abu vulkanik, batu dan pasir bahkan menjadikan kawasan seperti Cangkingan, Sleman, tak ubahnya padang pasir—dari sebelumnya sebuah kawasan hijau dengan pepohonan dan rerumputan.

Mari kita ambil pelajaran dari bencana alam itu. Kendati Merapi telah memuntahkan tak kurang 140 juta meter kubik materialnya, berikut dengan beragam ancamannya bagi makhluk hidup di sana, tetap saja warga di lereng Merapi mencintai gunung itu. Musibah erupsi tahun lalu memang mengejutkan mereka, namun ini tak berarti warga membenci Merapi atau serta-merta meninggalkannya. Justru sebaliknya, mereka masih ingin bertahan tinggal di lereng-lereng Merapi, kendati pemerintah sudah melarang keras. Kedekatan yang terbangun sejak kecil tampaknya sulit memisahkan relasi warga dan Merapi. Maka, bisa dimengerti betapa peliknya merelokasi warga agar tidak lagi tinggal di zona merah Merapi.

Dengan kekuatan letusan yang dimiliknya, tetap saja Merapi dicintai warga, alih-alih takut atau menghindar. Maklum saja, berkah Allah yang diturunkan lewat kehadiran Merapi sudah lama dinikmati warga secara turun-temurun. Sejatinya, kawasan Merapi memang tidak benar-benar aman untuk dijadikan hunian. Namun, ini toh tak menyurutkan keinginan warga untuk menikmati kehadiran Merapi. Awan panas dan banjir lahar dingin sepertinya dipandang mekanisme alami dari Merapi. Warga sudah terbiasa atau membiasakan dengan kenyataan ini. Mereka sadar, di balik kejadian terkait Merapi ada dampak positif atau berkah yang diturunkan oleh Sang Maha Pencipta.

Dalam konteks kedekatan Merapi dan manusia di sekitarnya, awan panas dan banjir lahar dingin dapat dilihat sebagai sebuah kritik. Kritik terhadap perilaku manusia yang telah melenceng dari keharmonisan dengan alam sekitar. Adanya awan panas atau banjir lahar dingin seolah hendak mengingatkan manusia untuk berbuat lebih baik secara berkualitas. Tidak ada lagi perusakan dan penyelewengan. Perusakan manusia terhadap kawasan hutan lindung atau sumber mata air atas nama pembangunan, sudah saatnya dikritik. Demikian pula peruntukan hunian-hunian di kawasan Merapi yang sebagian di antaranya justru dimanfaatkan untuk aktivitas asusila.

Atas penyelewengan itu, Merapi melakukan kritik. Kritik itu peringatan dari Allah agar manusia di sana kembali ke koridor jalan yang dikehendaki-Nya. Kritik Merapi sendiri dalam jangka pendek memang amat merusak. Bahkan begitu mengenaskan, dengan meninggalnya ratusan nyawa manusia. Belum lagi kehilangan hewan dan tumbuhan.

Tahan Kritik

Kritik atas penyelewengan amanah kekuasaan tak ubahnya dengan awan panas atau banjir lahar dingin Merapi. Dalam ranah politik, penguasalah yang dikritik; dalam bencana Merapi, manusialah yang dikritik. Kritik yang dilakukan partai politik merupakan tugas sekaligus kewajiban agar praktik kekuasaan di pemerintahan berjalan dengan benar. Agar amanat rakyat bagi yang dimandati tetap dijalankan sesuai aturan. Dan aturan yang dihasilkan juga merupakan mekanisme yang mendahulukan kepentingan rakyat kebanyakan.

Merapi sejatinya memberikan inspirasi bagi partai-partai politik tentang aktivitas kritik dan kesetiaan dalam bekerja. Kendati awan panas dan banjir lahar dinginnya memunculkan banyak kerugian, namun dalam jangka panjang kritik Merapi itu berbuah manis. Abu vulkaniknya menyuburkan tanah-tanah. Pasir dan batu yang kini melimpah ruah juga aset luar biasa untuk dikelola pada hari-hari setelah bencana. Ini baru secara material. Belum dari sisi material, semisal menjadi bahan refleksi untuk mengelola Merapi agar terbangun kawasan hiburan (seperti Kaliurang) dengan brand positif. Kawasan wisata erupsi seperti sekarang jelas lebih mendidik daripada menjadikan kawasan wisata sekadar tempat hiburan yang sesekali diseliai prostitusi sembunyi-sembunyi.

Kerja-kerja partai politik dalam mengkritik kekuasaan tidak harus selalu berbentuk aktivitas di parlemen atau demonstrasi di jalanan. Aksi-aksi sosial kemanusiaan juga merupakan bentuk kritik terhadap lambannya empati pemerintah dalam mengatasi bencana. Yang dilakukan PKS, baik di parlemen maupun di saat-saat bencana, merupakan praksis dari mengisi kelemahan kekuasaan saat rakyat membutuhkan pertolongan.

Memang tindakan partai politik dalam melakukan aksi nyata di masyarakat tidak selalu berujung dengan simpati. Belakangan ini makin banyak partai politik menerjunkan diri di area bencana seperti di Merapi dan bencana alam yang terjadi belakangan ini. Keberadaan spanduk yang seolah unjuk eksistensi akhirnya menuai antipati publik. Meski tidak menolak keberadaan partai politik di lokasi bencana, masyarakat seperti berhati-hati terhadap ketulusan mereka.

Fenomena perang spanduk memang tidak bisa dimungkiri ekses psikologisnya bagi warga korban bencana. Namun apakah ini harus dibiarkan begitu saja? PKS yang getol melakukan aksi-aksi kemanusiaan jauh sebelum aktivitas ini populer diikuti partai politik lain, tampaknya perlu belajar dari Merapi. Ya, belajar bagaimana kritik Merapi justru melahirkan empati.

Boleh jadi aktivitas kemanusiaan PKS di lokasi bencana memang tulus tanpa pretensi cari muka. Bahwa ada atribut di pasang di beberapa lokasi, ini semata unjuk identitas agar mudah dikenali saja. Pun demikian, boleh jadi aktivitas politik politisi PKS di parlemen memang ikhlas manakala menolak kehadiran dua komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) lantaran masih kontroversinya soal deponering keduanya. Dalam dua contoh ini, kontribusi PKS tidak selalu ditangkap seperti yang dikehendaki. Keikhlasan dan ketakpamrihan aktivis PKS bisa saja melahirkan tudingan macam-macam. Inilah yang terjadi hari, sebagai fakta yang harus disikapi oleh para aktivis partai ini.

Mengapa dulu saat belum ada partai politik yang menerjunkan diri di lokasi-lokasi bencana, dan baru PKS yang melakukannya, masyarakat bisa menerima tanpa ada curiga? Jawabannya mudah: masyarakat merasakan manfaat langsung, dan saat yang sama aroma politisasi belum terasa. Apakah politisasi bencana tidak ada sama sekali? Tidak tepat juga. Bagaimanapun juga dalam beragam ranah kehidupan, PKS senantiasa melakukan politik kontribusi; di mana saja mereka selalu bekerja dan beramal bagi publik. Soal ikhlas atau tidaknya ini perkara lain karena terkait isi hati manusia.

Lain cerita saat PKS kian besar. Prasangka politisasi terhadap politik kontribusi PKS dalam bencana kerap hadir. PKS dinilai memolitisi bantuan yang diberikannya guna merekrut anggota atau simpatisan. Dalam konteks perpolitikan, pemolitikan bantuan sebenarnya biasa saja. Siapa saja boleh melakukan perekrutan atau penarikan simpati terhadap orang lain. Tinggal bagaimana caranya, apakah bertabrakan dengan hukum atau tidak; dilakukan dengan mendidik ataukah paksaan. Persoalan dicurigainya PKS tidak terlepas dari hawa persaingan atau kekhawatiran dengan pihak lain atas membesarnya PKS. Mudah saja yang dilakukan: tuding miring kerja-kerja PKS, baik saat di lokasi bencana ataupun saat kiprah di parlemen dan panggung politik nasional.
Saat PKS belum sebesar dan sekuat seperti sekarang, rasa-rasanya tidak perlu diherankan bila banyak pihak tak menaruh curiga. PKS masih dipandang remaja polos yang tidak punya pretensi dalam bertindak. Namun, rupanya lain cerita untuk keadaan sekarang. Kecurigaan mata ditebar di mana-mana; prasangka dan jeratan konspirasi mengintai kerja-kerja PKS, bahkan tatkala PKS ingin memberikan terbaik bagi Indonesia. Lalu apa yang mestinya dilakukan PKS?

Berani Berisiko

Setelah tersadar soal kokohnya Merapi di hati warga, saya juga teringat dengan pengalaman John Naisbitt saat bercerita pengalamannya di China dan Thailand. “Saya selalu terkagum-kagum,” kata Naisbitt dalam Mind Set! (2006), “pada energi yang dikeluarkan orang-orang Asia, terutama China, dalam menerjang segala risiko dan menjalani perubahan, asalkan mereka melihat adanya manfaat.”

Warga di lereng Merapi berani menempuh risiko tinggal di kawasan gunung aktif, karena mereka menikmati adanya benefit tinggal di sana. Bukan sebuah hidup spekulasi. Ya, manfaat! Manfaat inilah yang begitu dirasakan saat masyarakat mendapati aksi-aksi kemanusiaan PKS, atau kiprah politisi di parlemen atau panggung eksekutif. Lantas bila hari ini begitu bertubi-tubi kritik, cacian hingga hinaan pada PKS, apakah karena manfaat yang didapati masyarakat sudah pudar atau setidaknya susut?

Sejujurnya, saya harus katakan demikian. Namun ini tentu tidak berlaku seluruhnya dari setiap aktivitas atau manuver politik politisi PKS. Ada ketergelinciran dan kealpaan hingga akhirnya berbuah makian publik. Jangan dilupakan pula, ekspektasi berlebih pada PKS tatkala PKS masih dipersepsi bersih dan peduli, tidak terlalu terpenuhi di saat praktik kekuasaan saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan publik pada titik nadirnya. PKS yang berada pada waktu yang tidak menguntungkan, mau tidak mau, ikut terciprati terkena kritik-kritik kekecewaan publik itu. Manfaat dari kinerja PKS akhirnya tertutupi oleh kekecewaan publik yang kebetulan memiliki akses membuat opini di media massa.
Mundurnya penerimaan dan simpati publik tentu bukan akhir dari jalan kiprah PKS. Seperti Merapi yang setia mengeluarkan materialnya dan memunculkan musibah, demikian pula harusnya PKS. Luncuran awan panas Merapi tak ubahnya kiprah-kiprah ekstensif PKS yang kemudian dikritik publik. Banjir lahar dingin Merapi paralel dengan aksi-aksi dan pemikiran para aktivis PKS yang kemudian melahirkan kontroversi. Selagi berpikir jangka pendek, tentu saja lahar, abu vulkanik, pasir dan batu Merapi merupakan bencana yang harus dihindari atau dicaci. Dalam jangka panjang? Ternyata ini merupakan berkah untuk disyukuri. Sekali lagi, Merapi tetap tegar sekalipun warga tidak suka dengan letusannya. Merapi tetap menjalan zikir pada-Nya dengan letusan itu, tak bergeming dengan cercaan warga yang berkeluh kesah akibat dampak erupsinya.

Persuaan yang lama akhirnya menjadikan warga sadar bahwa kritik dan pola Merapi merupakan sebuah kontribusi. Demikian pula mestinya PKS. Tidak perlu cengeng mengeluhi banyaknya cacian tak berdasar. Semua kritik tak ubahnya ekspresi cinta pada kerja-kerja PKS yang tidak atau belum optimal. Harapan yang ditaruh besar saat ditunaikan alakadarnya memang rentan menghasilkan kekecewaan, maka di sinilah ketegaran berjalan dengan kebenaran harus dilakukan. Seperti Merapi yang mengikuti garis takdir-Nya, kendati manusia tak suka Merapi ‘batuk’.

Soal kritik dari luar yang kadangkala tak berdasar akan lebih bermanfaat bila didudukkan sebagai sebuah asupan untuk memperbaiki kerja-kerja PKS di masa mendatang. Saya teringat dengan telaah Ustadz Yusuf Qaradhawi dalam karyanya, Umat Islam Menyongsong Abad ke-21 (2001), “Umat kita tidak mungkin dapat memberikan manfaat dan kebaikan pada umat lain, sebelum mereka mampu memberikan manfaat pada dirinya sendiri. Perbaikan internal harus didahulukan atas perbaikan eksternal.” Jadi, kritik bagi PKS tidak lain sebuah perbaikan untuk menjadi setegar Merapi yang pada akhirnya selalu dicintai warga.

Merapi dicintai karena ada konsistensi dalam memberikan benefit. Kekonsistenan memberi sekaligus kekonsistenan dalam tulus berbagi. Bila hari ini banyak tudingan miring pada PKS soal politik kontribusinya, maka dengan konsistensi tak berumur hari, pekan atau bulan, publik akan melihat mana pihak yang sesungguhnya setia melayani. Bencana atau tidak ada bencana, ada hadiah citra ataupun tidak, semua harus dikerjakan: mengabdi, sama seperti Merapi, memberi benefit pada warga. Kritik publik, dalam kaitan ini, menjadi semacam pengingat yang baik bagi konsistensi PKS.
Konsistensi dapat dilihat dari sisi profesionalitas, yakni kesungguhan dalam memberikan pelayanan. Tidak setengah-setengah atau sekadar bekerja bila ada liputan media massa. Merapi berdiri di tengah kesepian dan kesendirian. Namun ini tak berarti dia pasif dalam memberikan manfaat bagi warga. PKS sudah semestinya tidak memedulikan cercaan di luar, bila konsistensi menghasilkan layanan berkualitas dilakukan. Publik akan melihat dalam jangka panjang apakah kiprah politisi PKS salah ataukah seusai amanat konstitusi.

Refleksi Aksi

Terkadang mereka yang melakukan pembaruan di tengah masyarakat harus siap dituduh macam-macam. Merapi dengan elok menginspirasikan bahwa berkiprah di pentas politik yang sarat suap dan intrik harus disertai keberanian melakukan perubahan. Jangka pendek bisa jadi berujung pada cercaan, tetapi jangan panjang tidak mustahil—atas izin Allah—publik akan merasakan manfaatnya. Persis seperti dikatakan Naisbitt di atas saat menyebut keberanian orang China dalam menempuh risiko. Sebagai tambahan, yang dikatakan Naisbitt pula bahwa orang Eropa cenderung melihat manfaat lebih dulu setelah itu lihat saja nanti, masih dominan menyeruak di kepala masyarakat kita. Melihat PKS secara positif bila ada manfaat yang kasat mata langsung. Bila belum terlihat manfaatnya, apalagi kontroversi, PKS harus siap menerima dengan lapang dada cercaan publik.

Kerja-kerja PKS bagi bangsa ini, sejatinya, tidak bisa dilakukan dengan semata mempertimbangkan suara-suara pengkritiknya. Tetap harus ada koridor yang dimiliki. Semacam panduan melangkah dalam membangun peradaban Indonesia ala PKS. Suara luar penting sebagai penimbang dan evaluasi apakah kerja PKS sudah tepat ataukah tidak. Dan kritikan publik tak ubahnya material Merapi, penting bagi PKS di waktu mendatang. PKS bisa menempatkan diri seperti Merapi, tegar bersama kritikan atau cercaan publik.

Dengan ketegaran itu, PKS bisa seperti Merapi; menjulang tinggi dengan tetap rendah hati memberikan kontribusi bagi warga. Dalam jangka pendek, seperti sekarang, perubahan dan aksi yang dilakukan PKS mungkin belum bisa diterima atau malah mendatangkan prasangka, tetapi dengan konsisten mengawal perubahan dengan konsistensi keikhlasan, konsistensi profesionalitas saat mendengar dan melayani aspirasi publik, maka insya Allah aksi dan manuver politik PKS dipandang sebagai sebuah kontribusi. Dengan demikian, terwujudlah apa yang diungkapkan Naisbitt di awal tulisan ini: “Mereka yang terlebih dahulu merangkul perubahan yang perlu akan menjadi pihak yang paling merasakan manfaatnya.” Resistensi terhadap perubahan berhenti jika ada manfaat nyata.

Untuk itu, sudah siapkah PKS menjadi seperti Merapi, selalu bekerja ikhlas bagi Indonesia?[]

Sumber foto:
(1)Dimas Joko; (2) Totok wijayanto (Kompas, 20 Desember 2010); (3,5,7) Dokumentasi P2BPKSSleman (http://p2bpkssleman.files.wordpress.com)
Sumber: Yusuf maulana Files

0 komentar: